Rabu, 22 Januari 2014

Belayar di samudera cara Melayu.

Lagi Pemuisi yang lama telah pergi, kini masa aku curaikan isi dan raut bicara mu, umpamanya sedikit tapi terpaut, berpijak di bumi nyata, berpayung di langit biru, namun langit langit mu tidak pernah runtuh dan kering, jiwa mu tak pernah kontang, kerana kau tahu ada apa dalam sebuah citra yang berlapik dengan cita cita....
Bukankan semala,kini dan akan datang
hanya waktu.
Bukankah hanya waktu jasad berubah
Namun bukankah hanya waktu
Roh dan Jiwa tidak luntur.
Wahai di luar sana,yang ada suara,suara dayu mendayu
sayang menyayang, dan tak kurang garau suara menentang
dan menjadi petualang.......untuk apa kita bicara tentang marah
Jika marah membalut luka luka yang berdarah.
Untuk apa kita berbicara tentang rindu.....jika rindu semakin lama semakin sayu
Untuk apa kita kata menanti sejak dari terbit fajar mentari, jika sang suria terus memakar diri.
Untuk apa ?
Tidak kah sang pemuisi sering melontar kata umpama,


Usiamu menghampiri sunti dara
mengibarkan rasa di selendang sutera
menyembunyikan malu di bilik terkunci
diselubungi rindu lagu dan tari
seribu bayang seribu mimpi
yang manis indah kerana itulah mimpi.

Mimpi itu adalah keajaiban anugerah
tapi dialah nanti menyebabkan kau gundah
terasing di cermin kenyataan
kehidupan yang ganas dan kejam.

Sunti daraku,
jangan kau pinjam lamunanku, hati seorang ayah
yang kini kubenci sebab begitu lemah
selamanya mimpiku hidup itu serba indah.

Bunuhlah mimpi itu, anakku
kau membunuh segala palsu
lagu dan rindu
yang selalu menipumu.

Dapatkan keberanian hidup baru
dari kekuatan hati dan ketinggian ilmu 
 
 WahaiUsman Awang, Jika itu lah butir bicaramu, pasti aku luruh dan tercampak pada satu batu yang bayangnya hanya tinggal hilang,
tenggelam
dan
kini
ada apa lagi pada waktu
mencoret hati sunyi ku
dan ku tadah tangan ini
untuk menanti nun di sudut
Jeti itu
sebelum aku belayar pergi.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan